Minggu, 13 November 2016

Ringkasan Artikel "Model Pengendalian Terpadu Demam Berdarah Dengau di Kota Salatiga"

Dalam memenuhi tugas KBLI berupa meringkas, menyimpulkan dan membuat parafrase dari sebuah artikel.



Demam berdarah atau demam dengue (disingkat DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Nyamuk atau/ beberapa jenis nyamuk menularkan (atau menyebarkan) virus dengue. Demam dengue juga disebut sebagai "breakbone fever" atau "bonebreak fever" (demam sendi), karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya mengalami nyeri hebat seakan-akan tulang mereka patah. Sejumlah gejala dari demam dengue adalah demam; sakit kepala; kulit kemerahan yang tampak seperti campak; dan nyeri otot dan persendiaan. Pada sejumlah pasien, demam dengue dapat berubah menjadi satu dari dua bentuk yang mengancam jiwa. ( source : https://id.wikipedia.org/wiki/Demam_berdarah_Dengue)

Demam berdarah dengue sendiri masih menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dikarenakan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini. KLB tertinggu tercatat terjadi pada tahun 1998 di Jakarta dimana Incidence Rate sebesar 35,19 per 100.00 penduduk dan Case Fatality Rate ( CFR ) sebesar 2%. Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kota Salatiga merupaka kota dengan tingkat endesimitas yang tinggi ditunjukkan dengan tingginya Angka Kematian/Case Fatality Rate, seperti yang dicatat oleh Dinkes Salatiga tahun 2011, pada tahun 2008 CFR Kota Salatiga sebesar 1,39%  pada 72 kasus, tahun berikutnya CFR sebesar 0,92%  pada 109 kasus dan pada tahun 2010 tercatat 155 kasus dengan CFR 0%. Bedasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa Angka Bebas Jentik sebesar 91,92,91 dan 89,1% pada tahun 2007,2008,2009 dan 2010.

Sejauh ini program pemberantasan Deman Berdarah Dengue masih dipusatkan pada pemutusan rantai penularan hal ini dikarenakan belum ditemukannya obat dan vaksin yang dapat melumpuhkan virus penyebab demam ini. Program lain seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN ) pun masih belum dapat dilaksanakan secara optimal, begitu pula dengan pemasangan kelambu berinsektisida seperti yang dilakukan dalam menangani kasus malaria pun tidak dapat dilakukan, karna nyamuk vektor DBD mencari darah sepanjang hari dengan puncak kepadatan mencari saat siang hari (Widyana,1998).

Berdasarkan hasil penelitian mengenai status kerentanan vektor DBD di Provinsi Jawa Tengah dan DIY, dilaporkan bahwa di Kota Salatiga nyamuk Ae. Aegypti masih sangat rentan terhadap Insektisida sipermetrhin, pemilihan hopes dan kebiasaan menggigit orang di dalam rumah kemudian beristirahat ditempat – tempat gelap dan lembab serta daya predasi dari M.Aspericornis terhadap jentik – jentik nyamuk vektor DBD yang terdapat pada tempat – tempat penampungan air jernih dan juga air sumur. Maka dari itu yang menjadi alternatif pengendali daripada vektor DBD adalah pengendalian larva secara hayati dengan menggunakan M.aspericornis dan pemakaian gorden berinsektisida sipermethrin plus etilsellulosa sebagai media slow release.

 Berdasarkan latar belakang diatas,para peneliti pun mengajukan pertanyaan yaitu seberapa besarkah pengaruh penggunaan metode pengendalian vektor DBD yang sudah disebutkan diatas?

Maka dari itu para peneliti pun melakukan suatu penelitian yang dilakukan dalam waktu 12 bulan pada tahun 2012 di Benoyo Kelurahan Kutowinangun Kota Salatiga Propinsi Jawa Tengah dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga dengan bahan penelitian berupa nyamuk Ae.Aegypthi yang berasal dari dua tempat yaitu dari Laboratium dan dari lokasi penelitian yang mana selanjutnya dipelihara dilaboratorium hingga mencapai stadium dewasa dan kemudian dijadikan sebagai bahan penguji gorden berinsektisida. Tidak lupa diteliti pula jazad hayati dari M.aspericornis yang mana didapatkan dari hasil pemeliharaan dan pengembangan Laboratorium sebagai predator jentik nyamuk.

Setelah 12 bulan dan melakukan beberapa penelitian terkait jentik nyamuk dan nyamuk sebelum dan setelah aplikasi M. aspericornis dan gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulose dan pula pengamatan akan jentik nyamuk dalam penampungan air maka didapatkan hasil penelitian berupa :


1.       Adanya peningkatan Angka Bebas Jentik sebesar 29,67% dibandingkan sebelum adanya  perlakuan yaitu sebesar 85,05%

2.       Aplikasi penggunaan M.aspericornis menunjukkan hasil efektif dalam menurunkan larva nyamuk,terutama dalam daerah sulit air dan penampungan air yang jarang dikuras
dan menurunkan ovitrap indeks di dalam rumah

3.       Jenis penampungan yang baik digunakan adalah yang berasal dari tanah liat

4.       Efikasi dari gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulosa memiliki daya bunuh sebesar 82.39 % dan bertahan sampai pada minggu ke-15

5.       Kandungan bahan aktif dalam gorden berinsektisida pada hari pertama adalah sekitar 495 mg/m² dan setelah minggu ke-15 kandungan bahan aktif pada gorden sebesar 91.527 mg/m²


Setelah melihat hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pengendalian menggunakan M.aspericornis dan gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulosa dapat menaikkan Angka Bebas Jentik, menurunkan ovitrap indeks dan sangat efektif dalam membasmi vektor DBD. Apabila dapat melakukan secara rutin dalam hal mengganti gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulosa  setiap 3 bulan sekali dan mengembangbiakan M.aspericorin, maka Indonesia dapat saja terbebas dari penyakit DBD. 

Artikel asli oleh Akhid Darwin*, Aryani Pujiyanti* dan Bambang Heriyanto* *Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga
Sumber artikel :
Model Pengendalian Terpadu Vektor Demam Berdarah Dengue Di Kota Salatiga, oleh Darwin, A., Pujiyanti, A., & Heriyanto, B. tahun 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar